Kegelisahan nampak ketika harus menghadapi setiap pemilu. Selalu menjadi pusat perhatian adalah kesiapan para calon peserta pemilu menjelang pemilu dilaksanakan. Masyarakat harus menyaksikan tingkah laku para peserta pemilu dalam mencitrakan dirinya, para calon kepala negara begitu bangganya mengatakan akan ada perubahan terhadap Indonesia dan para janji wakil rakyat yang tidak pernah usang di perlihatkan di TV, koran dan spanduk-spanduk dijalanan.
Sistem demokrasi yang kita agungkan sebagai solusi terhadap permasalahan kebangsaan kita saat ini memang belum sepenuhnya sempurna. Sistem pemilihan umum dan langsung dipilh oleh rakyat pelaksanaanya masih tergolong muda. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Salah satu pengamat politik dan cendekiawan muslim Indonesia yang pernah menjabat ketua panwaslu 2004, mengatakan”.....kalangan masyarakat Indonesia yang kondisi ekonomi maupun pendidikannya masih rendah, sistem demokrasi belum tentu bisa menjadi obat mujarab yang bisa segera menyembuhkan keterpurukan bangsa ini, mengingat demokrasi bukan sekedar prosedur, melainkan juga kultur ”. masyarakat yang pada umumnya masih belum menyadari akan pentingnya keterkaitan mereka dalam sistem demokrasi ini, sering acuh tak acuh dan lebih mengutamkan iming sesaat daripada kelangsungan masa depan bangsa ini.
Perjalanan agenda lima tahunan ini, tidak selamanya berjalan sesuai harapan. Hasrat berbagai partai politik untuk memenangkan pemilu tidak dibarengi dengan kesadaran melaksanakan sesuai aturan yang di keluarkan oleh BAWASLU. Hampir semua partai politik mempunyai catatan pelanggaran selama menjelang pemilihan itu berlangsung. Pada masa kampanye saja, Selain politik uang, pelanggaran paling menonjol lainnya adalah pembiaran atas ikut sertanya anak-anak dalam sejumlah kampanye parpol. Lihat saja catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menemukan semua parpol peserta pemilu masih melakukan pelanggaran kampanye dengan melibatkan anak-anak. Menurut KPAI, Total ada 248 kasus pelanggaran yang melibatkan anak-anak dalam pelaksanaan kampanye di seluruh Indonesia. Ini menandakan bahwa Para elit politik atau partai politik belum siap melaksanakan pemilu secara jujur, adil dan sesuai aturan pemilu.
Sebuah istilah menarik pernah di tulis oleh Prof. komaruddin hidayat yaitu “politik panjat pinang” bahwa konsep politik yang dibangun bangsa ini tak ubahnya lomba panjat pinang, disana tak ada pemenang sejati, karena konsep kemenangan hanyalah akibat kejatuhan yang lain dan itu pun dengan cara menginjak sesama teman sendiri”.
Kompetisi dalam memenangkan pemilu sering diwarnai dengan saling menjelek-jelekkan antar partai. Pada saat kampanye misalnya, beberapa partai yang berorasi depan pendukungnya sering melontarkan bahasa yang menyinggung parati lain dan bentrokan antar partai pun sering menjadi pemandangan umum yang terjadi di daerah-daerah.
Demokrasi yang baik akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para elit politik dalam menjalani sistem demokrasi ini. oleh karena itu seharusnya para partai dalam menjaring kader tidak hanya melihat ketenaran atau kepopularan seorang calon kader, akan tetapi kualitas dan kematangan pengetahuan dalam berpolitik.
Salah satu contoh kader-kader partai yang popular tapi minim akan pengetahuan dan pengalaman berpolitik yaitu selebritis atau publik pigur yang sangat jelas sekali hanya memanfaatkan ketenaran dirinya untuk masuk partai dan menjadi caleg pada partai tersebut. Selanjutnya, para elit partai seharusnya benar-benar menggembleng atau mempersiapkan para kader-kadernya beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun sebelum menjelang pemilu dilaksakan. Outputnya akan kelihatan lebih berisi dan mempunyai pandangan masa depan politik yang lebih baik.
hidayat.komaruddin.politik.panjat.pinang.Jakarta. Gramedia Press
*Akbar only

Tidak ada komentar:
Posting Komentar